Ada lagi sebab mandi wajib lainnya yaitu karena haid dan nifas, mandi untuk jenazah, dan masuk Islam. Kita lanjutkan bahasan Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di.

Kitab Ath-Thaharah (Bersuci), Bab Hal-Hal yang Menyebabkan Mandi Wajib dan Caranya
Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, "Yang menyebabkan mandi wajib adalah
  • Keluarnya darah haid dan nifas.
  • Kematian selain karena syahid.
  • Islamnya orang kafir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
 
"Dan jika kamu junub maka mandilah."[1]

Juga dalam ayat disebutkan,

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
 
"Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu."[2]

Yang dimaksudkan “Apabila mereka telah suci” adalah apabila telah mandi. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan untuk memandikan jenazah. Begitu pula Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan untuk mandi bagi yang masuk Islam.”

Mandi Karena Haid dan Nifas
Wajib bagi wanita yang mengalami haid dan nifas untuk mandi jika telah suci. Karena Allah Ta’ala berfirman,

ۚوَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.”[3]

Dalil pendukung lainnya adalah hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

“Apabila kamu datang haid hendaklah kamu meninggalkan salat. Apabila darah haid berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan salat.”[4]

Juga hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah. ‘Aisyah menyatakan bahwa ia melihat pada wadahnya yang digunakan untuk mencuci pakaian penuh dengan darah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan kepadanya,

امْكُثِى قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِى وَصَلِّى

“Diamlah selama masa kebiasaan haidmu, kemudian mandi lalu salatlah.”[5]

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyatakan bahwa para ulama sepakat, diharamkan bagi suami menyetubuhi istrinya setelah darah haid wanita tersebut berhenti sampai ia bersuci. Para ulama berselisih pendapat mengenai makna bersuci di sini. Ada yang menganggap yang dimaksud adalah mandi dengan air. Sehingga maknanya, barulah halal menyetubuhi jika istri sudah mandi dengan menyiramkan air pada seluruh badan. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah wudlu untuk salat. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mencuci kemaluan. Artinya, jika sudah mencuci kemaluan, boleh disetubuhi.[6]

Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan bahwa mayoritas fukaha–Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah–berpendapat tidak halal bersetubuh dengan wanita haid sampai wanita haid itu suci–darahnya berhenti–, lalu ia mandi. Tidak boleh menyetubuhinya sebelum ia mandi. Para ulama tersebut berpandangan bahwa Allah memberikan dua syarat untuk menyetubuhi wanita haid setelah ia suci yaitu darah haidnya berhenti lalu ia mandi. … Ulama Malikiyyah berpandangan bahwa tidak cukup dengan tayamum karena uzur setelah darah tersebut berhenti untuk halal lagi disetubuhi. Namun di per syaratkan harus mandi lebih dahulu barulah halal disetubuhi.[7]

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Hadas haid yang terdapat pada wanita haid menyebabkan ia tidak boleh disetubuhi. Hadas haid tersebut barulah hilang jika mandi (setelah darah berhenti). Hal ini berbeda dengan hadas pada orang yang junub. Orang yang junub tidaklah dilarang bersetubuh. Larangan tersebut sama sekali tidak ada pada orang yang junub.”[8]

Karenanya, bagi suami jika ingin berhubungan intim dengan istri yang baru suci haid, diperintahkan pada istri untuk mandi lebih dahulu barulah boleh berhubungan intim atau bersetubuh dengan suami.

Mandi Karena Kematian
Kematian itu menyebabkan wajib mandi. Hal ini berdasarkan hadis dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata,

دَخَلَ عَلَيْنَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَغْسِلُ ابْنَتَهُ فَقَالَ « اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِى الآخِرَةِ كَافُورًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami dan ketika itu kami sedang memandikan putri beliau, lalu beliau perintahkan, ‘Mandikanlah tiga atau lima atau lebih daripada itu. Jika memang perlu dengan bidara dan di akhirnya diberi kapur barus.”[9]

Menurut jumhur ulama, yang dimaksud putrinya di sini adalah Zainab. Zainab ini yang menikah dengan Abu Al-‘Ash.

Adapun yang mati syahid tidaklah wajib dimandikan karena berdasarkan hadis Jabir, ia menyatakan,

وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِى دِمَائِهِمْ ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk menguburkan mereka (yang meninggal dunia pada perang Uhud) dengan darah-darah mereka dan tidak dimandikan, tidak pula disalatkan.”[10]

Mandi Karena Masuk Islam
Begitu pula jika orang kafir masuk Islam, maka ia diperintahkan untuk mandi. Hal ini berdasarkan hadits Qais bin ‘Ashim, ia berkata,

أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أُرِيدُ الإِسْلاَمَ فَأَمَرَنِى أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ.

“Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aku ingin masuk Islam. Lantas beliau memerintahkan aku mandi dengan air dan bidara.”[11]
Hukum asal perintah menunjukkan wajibnya.

Wallahu a'lam bishawab.
Cukup sampai di sini dulu... baarakallahu fiikum.

***
Sumber Artikel: rumaysho.com
Penyusun: Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal

Referensi:
  1. Al-Furuq Al-Fiqhiyyah ‘inda Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Dr. Sayyid Habib Al-Afghaniy. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.
  2. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
  3. Shahih Fiqh As-Sunnah. Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Al-Maktabah At-Taufiqiyah.
  4. Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  5. Tafsir Ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an). Cetakan pertama, Tahun 1423 H. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
[1] Surat al-Maidah ayat 6
[2] Surat al-Baqarah ayat 222
[3] Surat al-Baqarah ayat 222
[4] HR. Bukhari, no. 320 dan Muslim, no. 333
[5] HR. Muslim, no. 334
[6] Tafsir Ath-Thabari, 2:510-511
[7] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 18:325
[8] Badai’ Al-Fawaidh, dinukil dari Al-Furuq Al-Fiqhiyyah, 1: 425
[9] HR. Bukhari, no. 1196 dan Muslim, no. 939
[10] HR. Bukhari, no. 1343
[11] HR. Abu Daud, no. 355; Tirmidzi, no. 605; dan An-Nasa’i, no. 188. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).